Sabtu, 26 Desember 2009

ISBD Nifas

ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM MASA NIFAS


Bangsa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang majemuk yang memiliki keanekaragaman, budaya dan adat istiadat yang diupayakan terus dijaga oleh masyarakat setempat dan jadilah suatu kebudayaan yang pada setiap tempat berbeda-beda. Karena kemampuan manusia yang diperoleh dengan cara berpikir, berkehendak dan kemampuan merasa, melalui semua itu manusia mendapatkan ilmu mengarahkan perilaku dan mencapai kesenangan.

Masyarakat di Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, beribu-ribu suku bangsa ada di dalamnya dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda keanekaragaman budaya ini merupakan kekayaan bangsa yang tiada ternilai tingginya. Kekayaan tersebut harus dilestarikan dan dikembangkan itu dapat dipahami terus dari generasi ke generasi.

Manusia di ciptakan Tuhan sebagai makhluk yang paling mulia, diantara makhluk-makhluk hidup lainnya (hewan dan tumbuh-tumbuhan). Sifat manusia :
a. Sebagai makhluk biologis, manusia tunduk kepada hokum-hukum biologis (lapar, mengantuk, lelah, kebutuhan seksual dan lain sebagainya).
b. Sebagai makhluk hidup, manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan psikis atau kejiwaan (saling menyayangi, saling memperhatikan, membutuhkan rasa aman dan lain sebagainya).

Manusia sebagai makhluk yang mulia di bekali pula oleh Tuhan dengan akal dan budi pekerti, sehingga manusia dapat mengontrol naluri seksual, sesuai dengan norma, nilai moral, agama, dan aturan-aturan yang berlaku.

Setiap makhluk hidup (manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan) memiliki kemampuan untuk bereproduksi yaitu kemampuan untuk melanjutkan keturunan. Dua Insan, laki-laki dan perempuan yang terikat oleh perkawinan perlu mengetahui dan menyadari akan hak dan kewajiban serta tanggung jawab kesehatan reproduksi untuk menghasilkan keturunan yang sehat.

Proses reproduksi manusia yang bertanggung jawab sangat di pengaruhi oleh kesiapan :
 Fisik, keadaan yang paling baik bagi seseorang untuk memiliki anak yaitu (perempuan antara 20-30 tahun; laki-laki bila telah mencapai umur 25 tahun).
 Psikis, kesiapan mental bagi seseorang untuk menjadi orang tua yang bertanggung jawab.
 Social ekonomi, telah mampu bertanggung jawab secara social dan ekonomi sesuai dengan aturan, norma dan nilai yang berlaku.

Ketiga hal tersebut diperlukan untuk menciptakan lingkungan keluarga yang :
a. Sehat dan sejahtera
b. Saling menyayangi
c. Berpendidikan dan berkumpul
Wanita di Indonesia lebih mengejar karier dari pada perkawinan yang sehat dan bahagia, perkawinannya masih terikat adat istiadat, serta gadis remaja di Indonesia, belum mengerti anti fungsi kesehatan dan alat reproduksi.
1. kehamilan
2. persalinan
3. nifas

Pemerintah tetap mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan yang ada tanpa mengurangi kebudayaan tradisional dan saling bekerjasama tanpa pertentangan yang dapat merugikan salah satu anggota masyarakat. Pada gadis remaja khususnya dan wanita pada umumnya harus diberikan informasi yang tepat tentang kesehatan reproduksinya, perlu ditingkatkan pendidikannya.

Menanamkan pengertian hubungan seksual yang sehat, untuk meningkatkan jumlah saran pelayanan kesehatan reproduksi diberbagai budaya di Indonesia.

Diantara kebudayaan maupun adat-istiadat dalam masyarakat Indonesia ada yang menguntungkan, dan ada pula yang merugikan bagi kesehatan ibu hamil, ibu bersalin maupun ibu nifas.

Factor yang paling mempengaruhi status kesehatan masyarakat terutama ibu hamil, bersalin, dan nifas adalah factor lingkungan yaitu pendidikan disamping factor-faktor lainnya. Jika masyarakat mengetahui dan memahami hal-hal yang mempengaruhi status kesehatan tersebut maka diharapkan masyarakat tidak melakukan kebiasaan/adapt istiadat yang merugikan kesehatan khususnya bagi ibu hamil, bersalin dan nifas.

Oleh karena itu ilmu pengetahuan social kemasyarakatan sangat penting dipahami oleh seorang bidan dalam menjalankan tugasnya. Karena bidan sebagai petugas kesehatan yang berada digaris depan dan berhubungan langsung dengan masyarakat, dengan latar belakang agama, budaya, pendidikan dan adat istiadat yang berbeda.

Pengetahuan social dan budaya yang dimiliki oleh seorang bidan akan berkaitan dengan cara pendekatan untuk merubah perilaku dan keyakinan masyarakat yang tidak sehat, menjadi masyarakat yang berperilaku sehat.

Dari berbagai adat istiadat tersebut terlihat bahwa :
1. Upacara, penanganan dan pantangan bagi ibu hamil, melahirkan dan nifas berbeda-beda setiap wilayah.
2. menjadi gambaran penting bagi bidan yang bertugas di wilayah seluruh Indonesia.







Pengertian
Adat adalah aturan (perbuatan dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala (Anton, 1998 : 5) sedangkan istiadat adalah adapt kebiasaan (Anton, 1998 : 340).
Factor-faktor yang mempengaruhi status kesehatan
1. Faktor lingkungan
Factor lingkungan social yaitu interaksi masyarakat adat istiadat, pendidikan dan tingkat ekonomi. Perilaku masyarakat merupakan factor kedua yang mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat.
2. Faktor perilaku
Faktor budaya setempat dan pengetahuan sendiri serat sisitem nilai sangat berpengaruh terhadap keputusan yang diambil oleh pasien dan keluarga.
3. Faktor pelayanan kesehatan
Faktor tingkat pelayanan kesehatan merupakan factor ketiga yang mempengaruhi kesehatan masyarakat.
4. Faktor keturunan
Faktor keturunan merupakan factor yang telah ada dalam diri manusia yang dibawa sejak lahir.






Pengaruh social budaya terhadap ibu hamil, melahirkan, nifas
Pengaruh social budaya sangat jelas terlihat pada ibu hamil dan keluarga yang menyambut masa-masa kehamilan. Upacara-upacara yang diselenggarakan mulai dari kehamilan 3 bulan, 7 bualn, masa melahirkan dan masa nifas sangat beragam menurut adat istiadat daerah masing-masing.
Contoh :
1) Di wilayah Jawa dan Sunda masa kehamilan ini pada umumnya di masyarakat dilaksanakan upacara 3 bulan diselenggarakan dengan membagi-bagikan rujak pada tetangga. Bila rasanya pedas di yakini bayi yang baru lahir nanti adalah laki-laki. Upacara tradisi Ngliman (hamil 5 bulan) dan Mitoni (hamil 7 bulan). Sebetulnya ada tradisi yang lain, yaitu manusia ada tanda-tanda kehamilan dengan cirri-ciri sudah tidak menstruasi, suka makan yang asam-asam dan pedas, mentah-mentah dan lain-lain. Harus minum jamu atau “nyup-nyup” cabe puyang, maandi keramas, potong kuku, “sisig” (menghitamkan gigi) yang memiliki maksud selalu dalam keadaan suci. Karena pemahaman masyarakat Jawa dalam kehamilan selalu menjaga janin dikandungnya maka selalu berbuat kebaikan, tidak boleh mengejek orang, lebih-lebih orang cacat, tidak boleh membunuh makhluk hidup dan lain sebagainya. Agar bayi yang dikandung sehat jasmani dan rohani serta menjadi anak yang bermanfaat bagi orang tua, agama dan masyarakat.
2) Seperti di daerah Maluku terdapat pantangan makanan masa nifas, yaitu :
a. Terong agar lidah bayi tidak ada bercak putih.
b. Nanas, mangga tidak bagus untuk rahim.

NIFAS
 Menurut Agama Islam
Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya (2 atau 3 hari) yang disertai dengan rasa sakit.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hokum oleh Pembawa syari’at. Halaman 37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang wanitamendapati darah lebih dari 40, 60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits.
Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah mas (40 hari) itu, maka hendaklah hal tersebut dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang.
Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam ini, hendaklah ia kembali kepada hokum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan pada pasal sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli oleh suaminya. Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari 1 hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam kitab suci Al-Mughni.
Nifas tidak dapat ditetapkan, kecuali jika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi di hukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku baginya adalah hokum wanita mustahadhah.
Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum 40 hari kemudian keluar lagi pada hari ke 40, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan berpuasa fardu yang tertentu waktunya pada waktunya yang terlarang baginya apa yang terlarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia harus meng-qadha’ apa yang diperbuatnya selama keluarnya darah yang diragukan, yaitu yang wajib di qadha’ wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menurut para fuqaha’ dari Madzhab Hanbali.
Dalam haid, jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia suci sebelum 40 hari maka suami tidak boleh menggaulinya, menurut yang masyhur dalam Madzhab Hanbali.
Yang benar, menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan bahwa itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa isterinya dating kepadanya sebelum 40 hari lalu ia berkata : “Jangan kau dekati aku !”
Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami terlarang menggauli isterinya karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati Utsman, yakni khawatir kalau isterinya belum suci benar atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab lainnya.

















KESIMPULAN
Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya (2 atau 3 hari) yang disertai dengan rasa sakit.
Bahwa dalam aspek social budaya dalam masa nifas dipengaruhi dengan adat istiadat masyarakat di Indonesia.
Factor yang paling mempengaruhi status kesehatan masyarakat terutama pada ibu hamil, bersalin, dan nifas adalah factor lingkungan yaitu pendidikan disamping factor-faktor lainnya.
Pengaruh social budaya sangat jelas terlihat pada ibu hamil hingga pada masa nifas. Upacara-upacara yang sering diselenggarakan sesuai dengan adat istiadat masyarakat di Indonesia yang sangat beragam menurut daerah masing-masing, mulai dari kehamilan 3 bulan, 7 bulan, masa melahirkan dan masa nifas.
Contohnya di daerah Maluku terdapat pantangan makanan pada masa nifas, seperti pantangan memakan terong agar lidah bayi tidak ada bercak putih dan pantangan memakan nanas dan mangga karena tidak bagus untuk rahim.
Lain halnya di daerah Jawa, pantangan makanan pada masa kehamilan dan masa nifas, seperti pantangan makan-makanan yang setengah matang dan daging kambing, karena tidak baik bagi kesehatan sang ibu dan bayi, karena daging kambing bersifat panas.



DAFTAR PUSTAKA
SKM, Syafrudin. 2009. Sosial Budaya Dasar Unttk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta : Trans Info Media.

Rabu, 16 Desember 2009

ASPEK SOSBUD DALAM PRAKTEK KEBIDANAN

PENDEKATAN SOSIAL BUDAYA DALAM PELAYANAN KESEHATAN

Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan saat ini di hadapkan pada masyarakat yang lebih terdidik dan mampu membeli pelayanan kesehatan yang di tawarkan atau dibutuhkan ( Martoyo, 1998 ). Masyarakat mengiginkan pelayanan kesehatan yang murah, nyaman sehingga memberi kepuasan ( sembuh cepat dengan pelayanan yang baik ). Rumah sakit perlu mengembangkan suatu system pelayanan yang didasarkan pada pelayanan yang berkualitas baik, biaya yang dapat dipertanggung jawabkan dan diberikan pada waktu yang cepat dan tepat ( Martoyo, 1998 ). Rumah sakit sebagai suatu institusi pelayanan kesehatan, dalam memproduksi jasa pelayanan kesehatan ( pelayanan medis dan kebidanan ) untuk masyarakat, menggunakan bebagai sumber daya seperti ketenangaan, mesin, bahan, fasilitas, modal, energy dan waktu ( timpe, 2000 ).
Pelayanan kebidanan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pelayanan rumah sakit. Oleh karena itu, tenaga bidan bertanggungjawab memberikan pelayanan kebidanan yang optimal dalam meningkatkan dan mempertahankan mutu pelayanan kebidanan yang diberikan selama 24 jam secara berkesinambungan. Bidan harus memiliki keterampilan professional ataupun global Wheeler, (1999) dalam Hamid (2001). Agar bidan dapat menjalankan peran fungsinya dengan baik maka perlu aanya pendekatan social budaya yang dapat menjembati pelayanannya kepada pasien.
Tercapainya pelayanan kebidanan yang optimal, perlu adanya tenaga bidan yang professional dan dapat diandalkan dalam memberikan pelayanan kebidanan berdasarkan kaidah-kaidah profesi, antara lain memiliki pengetahuan yang adekuat, menggunakan pendekatan asuhan kebidanan.
Bidan dapat menunjukan otonominya dan akuntabilitas profesi melalui pendekatan social dan budaya yang akurat. Bentuk-bentuk pendekatan yang dapat digunakan oleh bidan dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut :

PENDEKATAN DALAM SISTEM KESENIAN TRADISIONAL


PENGERTIAN
Istilah seni pada mulanya berasal dari kata Ars (latin) atau Art (Inggris) yang artinya kemahiran. Ada juga yang mengatakan kata seni berasal dari bahasa belanda yang artinya genius atau jenius. Sementara kata seni dalam bahasa Indonesia berasal dari kata sangsekerta yang berarti pemujaan. Dalam bahasa tradisional jawa, seni artinya Rawit pekerjaan yang rumit – rumit / kecil
1. Pengertian menurut para ahli budaya
a. Drs. Popo Iskandar berpendapat, seni adalah hasil ungkapan emosi yang ingin disampaikan kepada orang lain dalam kesadaran hidup bermasyarakat / berkelompok
b. Ahdian karta miharja, seni adalah kegiatan rohani yang merefleksikan realitas dalam suatu karya yang bentuk dan isinya mempunyai untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam rohaninya penerimanya
Merupakan produk dari manusia sebagai homeostetiskus, setelah manusia dapat mencykuoi kebutuhan fifiknya, maka manusia perlu dan selalu mencari pemuas untuk memenuhi kebutuhan psikisnya manusia semata-mata tidak hanya memenuhi isi perut, tetapi perlu uga pandangan indah serta suara merdu, semua dapat dipenuhi melalui kesenian.
Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang di anugerahi pikiran, perasaan dan kemauan secara naluriah memerlukan prantara budaya untuk menyatakan rasa seninya, baik secara aktif dalam kegiatan kreatif, maupun secara pasif dalam kegiatan apresiatif.
Dalam kegiatan apresiatif, yaitu mengadakan pendekatan terhadap kesenian seolah kita memasuki suatu alam rasa yang kasat mata. Kesenian sebagai karya kasat mata, perwujudannya itu adalah merupakan wadah pembabaran idea yang bersifat batiniah dalam mengadakan pendekatan terhadap kesenian seluruh panca indera kita, khususnya penglihatan , perabaan dan perimbangan kita terlibat dengan asiknya terhadap bentuk kesenian itu yang terdiri dari aneka warna, garis, bidang, tekstur dan sebagainya yang bersifat lahiriah iitu untuk lebih jauh menghayati isi yang terbabar dalam karya kesenian itu serta idea yang melantar belakangi kehadirannya.
Maka itu dalam mengadakan pendekatan terhadap kesenian kita tidak cukup hanya bersimpati terhadap kesenian itu, tetapi lebih dari itu yaitu secara empati. Empati berasal dari kata yunani berarti merasa dengan. Jadi dalam menghayati suatu karya seni secara empati berarti kita menempatkan diri kita ke dalam karya seni itu.


PENDEKATAN DALAM SISTEM BANJAR
SISTEM BANJAR DI BALI
PENGERTIAN
Di samping kelompok-kelompok kerabat patrilineal yang mengikat orang Bali berdasarkan atas prinsip keturunan. Ada pula bentuk kesatuan-kesatuan social yang didasarkan atas kesatuan wilayah, ialah desa.
Kesatuan-kesatuan social serupa itu kesatuan yang diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-upacara keagamaan yang keramat. Pada umumnya tampak beberapa perbedaan antara desa adat di pegunungan dan desa adat di tanah datar. Desa-desa adat dipegununggan biasanya sifatnya lebih kecil dan keanggotaannya terbatas pada orang asli yang lahir didesa itu juga.
Sesudah kawin, orang itu langsung menjadi warga desa adat (karma desa) dan mendapat tempat duduk yang khas dib alai desa yang disebut bale agung, dan berhak mengikuti rapat-rapat desa yang diadakan secara teratur pada hari-hari yang tetap. Desa-desa adat di tanah datar. Desa-desa adat di pegunungan biasanya sifatnya lebih kecil dan keanggotaannya terbatas pada orang asli yang lahir didesa itu juga.
Sesudah kawin, orang itu langsung menjadi warga desa adat (krama desa ) dan mendapat tempat duduk yang khas di balai desa yang disebut bale agung, dan berhak mengikuti rapat-rapat desa yang diadakan secara teratur pada hari-hari tatap. Desa-desa adat di tanah datar biasanya sifatnya besar dan meliputi daerah yang tersebar luas. Demikian sering terdapat differensisasi kedalam kesatuan-kesatuan adat yang khusus didalamnya, yang disebut banjar.
Sifat keanggotaan banjar tidak tertutup dan terbatas kepada orang-orang asli yang lahir di dalam banjar itu juga.
Demikian kalau ada orang-orang dari wilayah-wilayah lain atau yang lahir di banajar lain, yang kebetulan tingal di sekitar wilayah banjar yang bersangkutan, mau menjadi warga, hal itu bisa saja. Pusat dari banjar adalajh bale banjar dimana para warga banjar saling bertemu dan berapat pada hari-hari yang tetap.
Banjar di kepalai oleh seorang kepala yang disebut kelian banjar (kliang). Ia pilih untuk suatu masa jabatan yang tertentu oleh warga banjar. Tugasnya tidak hanya menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dari banjar sbagai satu komuniti, tetepi juga lapangan kehidupan keagamaan. Kecuali itu, ia sering kali harus juga memecahkan hal-hal yang menyangkut hukum adat tanah dan dianggap ahli dalam adat banjar pada umumnya.
Adapun soal-soal yang bersngkutan dengan irigasi dan pertanian. Biasanya berada diluar wewenangnya. Hal itu adalah wewenang organisasi irigasi subak, yang telah tersebut diatas. Walaupun demikian, di dalam rangka tugas administratif: dimana ia bertanggung jawab kepada pemerintah di atasnya, ia bahkan tak dapat melepaskan diri sama sekali dari soal-soal irigasi danp pertanian di banjarnya. Disamping mengurus persoalan ibadat, baik mengenai banjar sendiri, maupun warga banjar, klian banjarjuga mengurus hala-hal yang sifatnya administratif pemerintahan.
Cara-cara pendekatan bidan di dalam wilayah banjar Bali :
a.Mengerakan dan membina peran serta masyarakat. Dalam bidang kesehatan, dengan melakukan penyuluhan kesehatan yang sesuai dengan permasalahankeehatan setempat.
b.Pemerintah menjalankan ? menerapkan PosKesDes (Pos Kesehatan Desa), yang ditujukan kepada seluruh masyarakat, yang terjangkau sampai kedaerah pedalaman.
c.Penyuluhan kesehatan masyarakat dimaksudkan dapat menghasilkan perubahan perilaku yang lestari untuk keluarganya, individu keluarga dan masyarakat itu sendiri.
d.Penyuluhan kesehatan masyarakat dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
e.Membina dan memberikan bimbingan teknis kepada kader termasuk dukun, (peran bidan sebagai pendidik ). Bersama kelompok dan masyarakat menanggulangi maslah kesehatan khususnya yang berhubungan dengan kesehatan ibu , anak dan KB.

PENDEKATAN DALAM SISTEM PAGUYUBAN
PENGERTIAN PAGUYUBAN

Paguyuban atau Gemeinschaft adalah suatu kelompok atau masyarakat yang diantara para warganya di warnai dengan hubungan-hubungan sosial yang penuh rasa kekeluargaan, bersifat batiniah dan kekal,serta jauh dan pamrih-pamrih
Paguyuban atau Gemeinschaft adalah suatu kelompok atau masyarakat yang diantara para warganya di warnai dengan hubungan-hubungan sosial yang penuh rasa kekeluargaan, bersifat batiniah dan kekal,serta jauh dan pamrih-pamrih ekonomi.

CIRI-CIRI PAGUYUBAN

Menurut Ferdinand tones cirri-ciri pokok dari paguyuban antara lain :
1Intimate : hubungan menyeluruh yang mesra
2Private : hubungan bersifat pribadi, yaitu khusus untuk beberapa orang saja
3Exclusive : bahwa hubungan tersebut hanyalah untuk “kita” saja
dan tidak untuk orang lain diluar “kita”

Sedangkan secara umum cirri-ciri paguyuban yaitu :
1.Adanya hubungan perasaan kasih sayang
2.Adanya keinginan untuk meningkatkan kebersamaan
3.Tidak suka menonjolkan diri
4.Selalu memegang teguh adat lama yang konservatif
5.Sifat gotong royong masih kuat
6.Hubungan kekeluargaan masih kental

TIPE PAGUYUBAN

Memiliki tiga tipe yang ada di masyarakat yaitu :

1.Paguyuban karena ikatan darah (Gemeinschaft by blood )
Yaitu paguyuban bedasarkan keturunan contoh kelompok kekeluargaan,keluarga besar

2.Paguyuban karena tempat (gemeinschaft by place )
Yaitu paguyuban yang terdiri dari ornag-orang yang berdekatan tempat tinggal sehingga dapat saling tolong menolong contohnya arisan,RT,RW,karang taruna,PKK,pos kambling, atau ronda

3.Paguyuban karena jiwa pikiran(gemneinschaft by mind)
Yaitu paguyuban yang terdiri dari orang yang tidak mempunyai hubungan darah atau tempat tinggalnya tidak berdekatan, akan tetapi mereka mempunyai jiwa dan pikiran yang sama,paguyuban semacam itu tidak sekuat dengan ikatan paguyuban berdasarkan keturunan.contohnya organisasi.


PEMBAHASAN PELAYANAN KEBIDANAN DENGAN PENDEKATAN PAGUYUBAN.

Dalam rangka peningkatan kualitas dan mutu pelayanan kebidanan diperlukan pendekatan-pendekatan khususnya paguyuban.untuk itu kita sebagai tenaga kesehatan khususnya calon bidan agar mengetahui dan mampu melaksanakan berbagai upaya untuk meningkatkan peran aktif masyarakat agar masyarakat sadar pentingnya kesehatan.misalnya saja dengan mengadakan kegiatan posyandu di puskesmas puskesmas

POSYANDU

1.PENGERTIAN POSYANDU
Posyandu merupakan suatu forum komunikasi alih teknologi dan sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang mempunyai nilai strategis untuk pengembangan sumber daya manusia sejak dini.

2.MANFAAT POSYANDU
1sebagai sarana pelayanan terdekat di masyarakat dan mudah dijangkau oleh masyarakat setempat.
2Sebagai sarana pendidikan dan pelatihan bagi,masyarakat dalam pembentukan kader leader dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
3Memberikan nilai strategis untuk pembangunan sumber daya manusia sejak dini.
4Mendorong peran serta masyarakat sehingga aktif dalam meningkatkan kesehatan.
3.PELAKSANAAN SISTEM PELAYANAN DI POSYANDU
Pelaksanaan system pelayanan di posyandu agar lebih teratur dan lebih terkoordinir maka dilakukan dengan lima meja diantaranya:



1.Meja pertama pendaftaran
2.Meja kedua penimbangan
3.Meja ketiga pencatatan
4.Meja keempat penyuluhan
5.Meja kelima pelayanan

Selain diadakan posyandu dipuskesmas-puskesmas upaya untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1)Mengadakan pendekatan pendekatan dan menjalin kerja sama.
Petugas kesehatan harus mengadakan pendekatan-pendekatan dengan organisasi masyarakat yang ada di lingkungan tersebut seperti kader desa,tokoh masyarakat,kelompok PKK,RT,RW,karang taruna,dll. Contohnya adalah petugas kesehatan atau bidan arus mengadakan kerja sama dengan pamong desa yaitu mengajak masyarakat untuk memanfaatkan posyandu dengan giat datang ke posyandu baik menimbang balita,imunisasi,KB,dll.selain itu juga dapat dilakukan dengan cara mendatangi rumah-rumah penduduk yang memiliki balita untuk mengadakan penyuluhan kesehatan agar ingin mendatangi posyandu.
2)Teknik penggunaan ancaman
Disini petugas memberikan ancaman baik dalam bentuk sangsi ataupun hukuman. Contohnya petugas memberikan sangsi tertentu kepada masyarakat yang tidak bersedia menjadi akseptor KB,karena ingin menghindari hukuman maka muncul peran serta masyarakat yang sifatnya terpaksa.
Penggunaan teknik ini memang akan memunculkan peran serta dari masyarakat yang sifatnya terpaksa maka tidak akan lestari jika ada orang yang memberi ancaman lagi maka masyarakat tidak akan berperan serta lagi.

3)Teknik pemberian imbalan.
Disini petugas memberikan suatu imbalan bagi masyarakat yang ingin turut serta berperan aktif , bentuk-bentuk imbalannya dapat berupa materi,penghargaan ataupun hadiah hadiah yang lainnya. Akan tetapi kelemahan dari teknik adalah perlunya disediakan imbalan yang bersifat materil sehingga memberitakan keadaan ekonomi seperti yang terjadi sekarang ini serta dapat menurunkan peran serta masyarakat jika imbalan ini kurang atau dihilangkan sehingga peran serta yang ada tidak lestari.

4)Teknik kombinasi
Dalam teknik kombinasi menggabungkan berbagai teknik yang ada hal ini sangat penting karena penggunaan salah satu teknik di atas mempunyai keterbatasan keterbatasan. Dengan cara memilah maka kelemahan kelemahan teknik diatas dapat meminimalisasikan. Alasan lainnya karena adalah karena masyarakat memiliki budaya dan kesadaran yang berbeda-beda.sebagai contoh : upaya imunisasi untuk pencegahan penyakit, pertama-tama pemong desa dapat memberikan pemerintah bahwa semua bayi harus di imunisasi.para tooh masyarakat, pemimpin kader dan para kader selalu mendatangi rumah-rumah penduduk yang memiliki bayi untuk memperlihatkan manfaat imunisasi bagi bayi. Hal ini dapat mengubah motivasi masyarakat untuk ikut serta dalam kesehatan.
Penggunaan teknik ini memang akan memunculkan peran serta dari masyarakat yang sifatnya terpaksa maka tidak akan lestari jika ada orang yang memberi ancaman lagi, maka masyarakat tidak akan berperan serta lagi.

5) Teknik kombinasi
Dalam teknik kombinasi menggabungkan berbagai teknik yang ada, hal ini sangat penting karena penggunaan salah satu teknik diatas mempunyai keterbatasan-keterbatasan. Denga cara memilah maka kelemahan-kelemahan teknik diatas dapat diminimalisasikan. Alasan lainnya adalah karena masyarakat memiliki budaya dan kesadaran yang berbeda-beda. Sebagai contoh: upaya imunisasi untuk pencegahan penyakit, pertama-tama pamong desa dapat memberikan perintah bahwa semua bayi harus diimunisasi. Para tokoh masyarakat, pemimpin leader, dan para kader selalu mendatangi rumah-rumah penduduk yang memiliki bayi untuk memperlihatkan manfaat imunisasi bagi bayi. Hal ini dapat menggugah motivasi masyarakat untuk ikut serta dalam kesehatan.



PENDEKATAN DALAM SISTEM PESANTREN
PENGERTIAN
Pondok pesantren adalah lembaga Pendidikan Islam yang menggembangkan fungsi pedalaman agama, kemasyarakatan dan penyiapan sumber daya manusia.

TUJUAN DAN SASARAN PONDOK PESANTREN
Bidan harus memiliki keterampilan professional agar apat memberikan pelayanan kbidanan yang bermutu untuk memenuhi tuntutan kebutuhan rasional, agar bidan dapat menjalankan peran fungsiya dengan baik maka perlu adana pendekatan social budaya yang dapat menjembati pelayanan pasien. Tercapainya pelayanan kebidanan yang optimal, perlu adanya tenaga bidan yang professional dan dapat diandaakan dalam memberikan pelayanan kebidanan berdasarkan kaidah-kaidah profesi, antara lain memiliki pengetahuan yang adekuat menggunakan pendekatan asuhan kebidanan. Bidan dapat menunjukan otonominya dan akuntabilitas profesi melalui pendekatan social dan budaya yang akuat. Bentuk-bentuk pendekatan yang dapat digunakan oleh bidan dalam pelayanan kesehatan sebagai berikut


a.pendekatam sosial
b.survai mawas diri
c.musyawarah masyarakat pondok pesantren
d.pelatihan
e.pelaksanaan kegiatan
f.pembinaan



Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan islam yang mengembangkan fungsi pendalaman agama, kemasyarakatan dan penyiapan sumber daya manusia. Melalui pedidika agama, pendidikan formal, pendidikan kesenian.
Tujuan umum : tercapainya pengembangan dan pemantapan kemandirian ponok pesantren dan masyrakat sekitar dalam bidang kesehatan.
Tujuan khusus : tercapainya pengertian positif pondok pesantren dan masyarakat sekitarnya tentang norma hidup sehat, meningkatkan peran serta pondok pesantren dalam menyelenggarakan upaya kesehatan, terwujudnya keteladanan hidup sehat di lingkungan pondok pesantren.


DAFTAR PUSTAKA


Sosial budaya dasar, Syafrudin, SKM,M.Kes

EUTHANASIA

EUTHANASIA MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti "baik", dan
thanatos, yang berarti "kematian" (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya. (Hasan, 1995:145)
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif
dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah. (Utomo, 2003:176)
B. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-'amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT :
"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar." (QS Al-An'aam : 151)
"Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…" (QS An-Nisaa` : 92)
"Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu." (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-'amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan
mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
"Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh." (QS Al-Baqarah : 17)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua
pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT :
"Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)."
(QS Al-Baqarah : 17)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di
antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i
(Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham
(uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1
dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1
dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu
kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,"Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu." (HR Bukhari dan Muslim).
Contoh euthanasia aktif
Misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan
rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini,
dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya
obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa
sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien
yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003:176).
Beberapa contoh kasus ethanisia aktif diantaranya:
1.Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meningggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2.Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat pernafasan, sedangkan dokter ahli berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan.
Alat pernafasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan
menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan (dilepas), maka penderita sakit tidak mungkin dapat melanjutkan pernafasannya sebagai cara aktif memudahkan proses kematiannya.
Dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan euthanasia ini, meskipun
dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya euthanasia dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan tindak pidana , yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh
Undang-undang.
C. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan
sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah,
atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:6) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
"Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia
ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!" (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat.
Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan
(li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah
ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
"Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan." (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam
hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang
perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,"Sesungguhnya aku
terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!" Nabi SAW berkata,"Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu." Perempuan itu berkata,"Baiklah aku akan bersabar," lalu dia berkata lagi,"Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap." Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya.(HR.Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan
dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum,1998:69).

Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk
dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin daripasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi,maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Beberapa contoh kasus dalam hal ini diantaranya:
1.Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan
dapat mempercepat kematiaannya.
2.Seseorang yang kondisinya sangat kritis dan akut karena menderita kelumpuhan tulang belakang yang biasa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan kontrol pada kandung kencing dan usus besar. Penderita penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya. Atau penderita kelumpuhan otak yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannya dengan studium beragam yang biasanya penderita penyakit ini akan lumpuh fisiknya dan otaknya serta selalu memerlukan bantuan khusus selama hidupnya. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan tanpa diberi pengobatan yang mungkin akan dapat membawa
kematiannya.
Dalam contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk
eutanasia pasif. Menurut gambaran umum, para penderita penyakit seperti itu terutama anak-anak tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak atau kedua orang tuanya.
Contoh euthanasia pasif
Misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178).
Pandangan Syariah Islam Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
Secara umum ajaran Islam diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan hidup dan
kehidupan manusia, sehingga aturannya diberikan secara lengkap, baik yang berkaitan dengan masalah keperdataan maupun pidana. Khusus yang berkaitan dengan keselamatan dan perihal hidup manusia, dalam hukum pidana Islam (jinayat) ditetapkan aturan yang ketat, seperti adanya hukuman qishash, hadd, dan diat.
Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya
seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan; sebagaimana disebutkan dalam hadits: "Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari Islam (murtad), kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus dibunuh, disalib dan diasingkan dari tempat kediamannya" (HR Abu Dawud dan An-Nasa'i)
Selain alasan-alasan diatas, segala perbuatan yang berakibat kematian orang
lain dimasukkan dalam kategori perbuatan 'jarimah/tindak pidana' (jinayat), yang mendapat sanksi hukum. Dengan demikian euthanasia karena termasuk salah satu dari jarimah dilarang oleh agama dan merupakan tindakan yang diancam dengan hukuman pidana. Dalil syari'ah yang menyatakan pelarangan terhadap pembunuhan antara lain Al-Qur'an surat Al-Isra':33, An-Nisa':92, Al-An'am:151. Sedangkan dari hadits Nabi saw, selain hadits diatas, juga hadits tentang keharaman membunuh orang kafir yang sudah
minta suaka (mu'ahad).(HR.Bukhari).
Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit
berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya Raulullah saw bersabda: "Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu." (HR Bukhari dan Muslim).
Hal itu karena yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah Allah dan oleh karenanya manusia dalam hal ini tidak mempunyai hak atau kewenangan
untuk memberi hidup dan atau mematikannya. (QS.Yunus:56, Al-Mulk:1-2).Berkaitan dengan permasalahan tersebut muncul persoalan fikih yaitu apakah memudahkan proses kematian secara aktif ditolerir oleh Islam? Apakah memudahkan proses kematian secara pasif juga diperbolehkan?
Dengan demikian melalui euthanasia aktif berarti manusia mengambil hak Allah
Swt yang sudah menjadi ketetapanNya. Memudahkan proses kematian secara aktif seperti pada contoh pertama tidak diperkenankan oleh syari'ah. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis atau cara lainnya. Dalam hal ini dokter telah melakukan pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan
termasuk dosa besar. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yanng mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari pada Allah Al-Khaliq. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah di tetapkan-Nya.
Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat menyerah pada keadaan (fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk selalu berusaha
atau berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada alasan untuk berputus asa atas suatu penyakit selama masih ada harapan, sebab kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits Nabi sw disebutkan betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya.(HR Ahmad dan Muslim)
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia pasif sebagaimana
dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itutermasuk dalam kategori praktik
penghentian pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat. Masalah ini terkait dengan hukum melakukan pengobatan yang diperselisihkan oleh para ulama fikih apakh wajib atau sekedar sunnah. Menurut jumhur ulama mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya sunnah dan tidak wajib. Meskipun segolongan kecil ulama ada yang mewajibkannya, seperti kalangan ulama syafi'iyah dan hanbali sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadist Abbas yang diriwayatkan dalam kitab shahih dari seorang wanita yang menderita epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi agar mendoakannya, lalu beliau menjawab: "Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga, dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu." Wanita itu menjawab akan bersabar dan memohon kepada Nabi untuk medoakan kepada Allah agar ia tidak minta dihilangkan penyakitnya namun
tetap terjaga auratnya sehingga tidak tersingkap ketika kambuh.
Disamping itu, terdapat banyak contoh dari kalangan sahabat dan tabi'in yang
tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubay bin Ka'ab dan Abu Dzar Al-Ghifari. Sikap demikian tidak ditegur ataupun diprotes oleh kalangan sahabat ataupun generasi tabai'in lainnya sebagaimana dikupas oleh Imam Al-Ghazali dalam satu bab tersendiri yang berjudul "Kitab at-Tawakal" dalam kitab Ihya 'Ulumuddinnya. Dalam hal ini hukum berobat atau mengobati penyakit yang lebih tepat adalah pada dasarnya wajib terutama jika sakitnya parah, obatnya efektif berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan perintah Allah Swt untuk berobat. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw dalam masalah pengobatan
sebagaimana yang di kemukakan oleh Imam Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Zadul-Ma'ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw, tersebut minimal menunjukkan hukum sunnah.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara perhitungan
akurat medis yang dapat dipertanggungjhawabkan sudah tidak ada harapan sembuh,
sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas yang dikuasai para ahli
seperti dokter ahli maka tidak ada seorang pun yang mengatakan sunnah berobat
apalagi wajib.
Apabila penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian
berbagai macam media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infus dan
sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan peralatan medis modern
lainnya dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada
perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak juga sunnah
sebagaimana difatwakan oleh Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa
Mu'ashirahnya, bahkan mungkin kebalikannya yakni tidak mengobatinya itulah yang
wajib atau sunnah.
Dengan demikian memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam ini
dalam kondisi sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan qatl ar-rahma
(membiarkan perjalanan menuju kematian karena belas kasihan), karena dalam
kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter maupun orang lain. Tetapi
dokter ataupun orang terkait lainnya dengan pasien hanya bersikap meninggalkan
sesuatu yang hukumnya tidak wajib ataupun tidak sunnah, sehingga tidak dapat
dikenai sanksi hukuman menurut syari'ah maupun hukum positif. Tindakan
euthanasia pasif oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan
dibenarkan syari'ah apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan
penderitaan dan beban pasien dan keluarganya.
Hal ini terkait dengan contoh kedua dari eutanasia aktif terdahulu yaitu
menghentikan alat pernapasan buatan dari pasien, yang menurut pandangan dokter
ahli ia sudah "mati" atau "dikategorikan telah mati" karena jaringan otak
ataupun fungsi syaraf sebagai media hidup dan merasakan telah rusak. Kalau yang
dilakukan dokter tersebut semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini
sama dengan tidak memberikan pengobatan.
Dengan demikian masalahnya sama seperti cara-cara eutanasia pasif lainnya.
Karena itu, eutanasia untuk seperti ini adalah bukan termasuk kategori
eutanasia aktif yang diharamkan. Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan
syari'ah dan tidak terlarang terutama bila peralatan bantu medis tersebut hanya
dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah yang tampak dalam
pernapasan dan denyut nadi saja, padahal bila dilihat secara medis dari segi
aktivitas maka pasien tersebut sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak
dapat mengerti sesuatu dan tidak merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan
sarafnya sebagai sumber semua aktivitas hidup itu telah rusak.
Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan biaya
dan tenaga yang banyak serta memperpanjang tanggungan beban. Selain itu juga
dapat menghalangi pemanfaatan peralatan tersebut oleh pasien lain yang
membutuhkannya. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan
apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan
menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya. Pendapat ini telah dikemukakan sejak lama oleh Syeikh Al-Qardhawi kepada
sejumlah pakar fikih dan dokter dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh
sebuah yayasan Islam untuk ilmu-ilmu kedokteran di Kuwait. Para
peserta seminar dari kalangan ahli fikih dan dokter sepakat menerima pendapat
tersebut.
Adapun hukum wajib shalat bagi orang yang tidak sadar dan tidak dapat
merasakan apa-apa adalah tidak berlaku lagi sampai ia sadar kembali. Namun jika
tidak kembali sadar maka ia tidak terkenai kewajiban tersebut.

BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas tampak bahwa dasar dibolehkannya suatu alat itu digunakan dalam pembunuhan hukuman mati adalah bahwa alat itu ketika digunakan tidak menyiksa dan menyengsarakan korban tapi mempermudah serta mempercepat kematiannya sebagaimana hadits Rasulullah saw : "Apabila kamu membunuh maka lakukanlah dengan cara yang baik dan apabila kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik." (HR. Muslim) Jadi penggunaan suntik mati dalam mengeksekusi tahanan diperbolehkan jika
memang suntik mati itu tidak membuat tahanan tersebut menderita, tersiksa dalam
waktu yang lama dan lama menemui ajalnya.
Euthanasia, alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa.
3.2.SARAN
Sebaiknya seseorang tidak melakukan Euthanasia hanya karena ingin mengakhiri penderitannya. Karena, masih banyak cara yang dapat dilakukan seseorang dalam menyembuhkan penyakitnya. Atau mengikuti hukum alam. Dan banyak berserah diri kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In'asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut : Darul Ummah.
Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri' Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah Ar-Risalah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak). Damaskus : Darul Fikr.
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam/
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta : Gema Insani Press.
Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar'i fi Al-Istinsakh, Naql A'dha`,
Al-Ijhadh,
Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan
Islam : Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung

Sabtu, 05 Desember 2009

Fisiologi Proses Masuknya Makanan ke Sel

Proses Masuknya Makanan ke Sel


Saat kita makan, makanan awalnya akan masuk ke saluran gastrointestinal, makanan akan dicerna di lambung dengan asam lambung lalu akan dicerna lagi dengan empedu oleh hati dan akan memasuki usus halus untuk diserap. Saat diserap, makanan akan masuk ke dalam aliran darah bersama sel-sel darah merah. Sel-sel darah merahlah yang akan menghantarkan makanan tersebut di samping oksigen dari alveolus. Setelah itu makanan akan dibawa ke hati untuk dipecah menjadi molekul2 yang lebih kecil agar mudah diserap sel. Karbohidrat akan diubah menjadi glukosa, lemak mejadi asam lemak, dan protein menjadi asam amino. Setelah itu, darah akan mendistribusikannya ke seluruh sel2 tubuh. Darah akan membanya sampai ke kapiler. Di sana, zat2 makanan dan oksigen akan dilepas ke matriks ekstraseluler. Setelah itu, makanan dan oksigen akan masuk ke sel. Jika ukurannya sangat kecil maka dapat melintasi membrane dengan bebas. Tapi jika ukurannya besar maka akan diterima oleh sel dengan cara pinositik atau fagositik. Umumnya, yang digunakan adalah pinositik. Zat-zat makanan tersebut akan masuk dalam folikel pinositik dan akan segera dibawa ke mitokondria untuk respirasi. Zat makanan lalu diubah menjadi asam piruvat kemudian menjadi asetil koenzim-A, lalu akan dipecah dimatriks mejadi hydrogen dan karbondioksida. Nah, karbondioksida akan segera dikeluarkan dari sel mengikuti darah untuk dilepaskan di paru2 keluar tubuh. Sementara Hidrogen akan berikatan dengan oksigen dari darah. Tapi sebelumnya hydrogen harus diubah dulu ke bentuk ion dengan melepaskan elektronnya. Setelah itu, terjadlah ikatan antara hydrogen dan air dan melepaskan energi tinggi yang akan diterima oleh ATP sintase untuk mengubah ADP menjadi ATP. Setelah itu, ATP akan disebarkan ke seluruh organel2 untuk proses aktivitas sel.

Sumber Data :

http://kreatifberpikir.blogspot.com/2008/10/bagaimana-proses-masuknya-makanan-ke.html